Rabu, 22 Juni 2016

Menikah atau tidak? ini pendapat saya.

Facebook : rezky eka wicaksono

Selamat datang di blog saya sobat,
Ini hal yang paling membingungkan dalam hidup gue.jika ditanya " kapan nikah?" secara gue gak suka sama cewek karena gue gay,kalau nikah nanti mana mungkin bisa punya anak,sebab berhubungan badan juga gak bisa karena gak nafsu.
Setelah gue pikirin,sebenarnya kalau seseorang itu bisex,otomatis kecenderungan sama cewek masih ada dan dia bisa menikah,tapi kalau gay? Yang gak punya nafsu sama sekali terhadap wanita?
Harus di akui,menjadi seorang gay adalah kesalahan dan juga ujian berat dari sang pencipta.apabila memutuskan diri untuk tidak menikah,maka perbanyaklah amal ibadah,sedekah,wakaf dll agar kelak  timbangan kebaikan kita lebih berat dari pada dosa,sehingga masuk surga nya Allah.
Ada beberapa yang perlu dilakukan:
1. Mencari uang yang halal sebanyak banyaknya untuk wakaf.yang pahalanya mengalir terus walaupun orang yang wakaf sudah meninggal.hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Apabila manusia meninggal dunia, maka terputus amalnya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya. [HR Muslim 3084].

Syaikh Ali Bassam berkata: Adapun yang dimaksud dengan shadaqah dalam hadits ini ialah wakaf. Hadits ini menunjukkan, bahwa amal orang yang mati telah terputus. Dia tidak akan mendapat pahala dari Allah setelah meninggal dunia, kecuali (dari) tiga perkara ini; karena tiga perkara ini termasuk usahanya. Para sahabat dan tabi’in mengizinkan orang berwakaf, bahkan menganjurkannya. [Lihat kitab Taisiril Allam, 2/132].
Wakaf dapat berupa Tanah,bangunan,membantu pembangunan masjid,pondok pesantren,membuat sumur,atau membeli musyaf Al- Qur'an kita berikan untuk masjid,madarasah. Setiap dimanfaatkan,kita mendapatkan pahalanya.
Kemudia juga menyebarkan ilmu- ilmu Agama, lebih penting lagi menyadarkan teman sesama gay agar bertaubat.karena mereka sama dengan kita,dan kita wajib mengingatkan kesalahan mereka.

2. Ingat mati
{وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ}

Artinya: “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al A’raf: 34 )

3. Menyibukan diri dalam hal yang bermanfaat, seperti mendengarkan pengajian,menghafal Al-Qur'an, membaca buku dll.
4. Jadilah Orang yang bermanfaat untuk lingkungan

عن جابر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « المؤمن يألف ويؤلف ، ولا خير فيمن لا يألف ، ولا يؤلف، وخير الناس أنفعهم للناس »

Diriwayatkan dari Jabir berkata,”Rasulullah saw bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni)

Hadits ini dishahihkan oleh al Albani didalam “ash Shahihah” nya.

عن ابن عمر ، أن رجلا جاء إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فقال : يا رسول الله أي الناس أحب إلى الله ؟ وأي الأعمال أحب إلى الله عز وجل ؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « أحب الناس إلى الله أنفعهم للناس ، وأحب الأعمال إلى الله سرور تدخله على مسلم ، أو تكشف عنه كربة ، أو تقضي عنه دينا ، أو تطرد عنه جوعا ، ولأن أمشي مع أخ لي في حاجة أحب إلي من أن أعتكف في هذا المسجد ، يعني مسجد المدينة ، شهرا ، ومن كف غضبه ستر الله عورته ، ومن كظم غيظه ، ولو شاء أن يمضيه أمضاه ، ملأ الله عز وجل قلبه أمنا يوم القيامة ، ومن مشى مع أخيه في حاجة حتى أثبتها له أثبت الله عز وجل قدمه على الصراط يوم تزل فيه الأقدام »

Dari Ibnu Umar bahwa seorang lelaki mendatangi Nabi saw dan berkata,”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling diicintai Allah ? dan amal apakah yang paling dicintai Allah swt?” Rasulullah saw menjawab,”Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat buat manusia dan amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan kedalam diri seorang muslim atau engkau menghilangkan suatu kesulitan atau engkau melunasi utang atau menghilangkan kelaparan. Dan sesungguhnya aku berjalan bersama seorang saudaraku untuk (menuaikan) suatu kebutuhan lebih aku sukai daripada aku beritikaf di masjid ini—yaitu Masjid Madinah—selama satu bulan. Dan barangsiapa yang menghentikan amarahnya maka Allah akan menutupi kekurangannya dan barangsiapa menahan amarahnya padahal dirinya sanggup untuk melakukannya maka Allah akan memenuhi hatinya dengan harapan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang berjalan bersama saudaranya untuk (menunaikan) suatu keperluan sehingga tertunaikan (keperluan) itu maka Allah akan meneguhkan kakinya pada hari tidak bergemingnya kaki-kaki (hari perhitungan).” (HR. Thabrani)

Hadits ini dihasankan oleh Syeikh al Albani didalam kitab “at Targhib wa at Tarhib” (2623)

5. Islam mengatur setiap sendi kehidupan,mulai individu,masyarakat maupun negara. Di negara kita belum mampu 100% menerapkan hukum Islam.sudah seharusnya kita memperjuangkan penerapan Syariat Islam sebagai dasar Negara.

6. Hijarah dari pergaulan yang buruk ke lingkungan yang Islami.bersahabat dengan orang-orang shalih.sebab sahabat bisa memberi Syafaat di hari kiamat kelak

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya bersabda:

فَوَالَّذِى نَفْسِي بِيَدِهِ! مَا مِنْ أَحَدٍ مِنْكُمْ بِأَشَدَّ مُنَاشَدَةً للهِ فِى اسْتِضَاءَةِ الْحَقِّ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ للهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لإِخْوَانِهِمُ الَّذِيْنَ فِى النَّارِ. يَقُوْلُوْنَ : رَبَّنَا! كَانُوْا يَصُوْمُوْنَ مَعَنَا وَيُصَلُّوْنَ وَيَحُجُّوْنَ. فَيُقَالُ لَهُمْ : أَخْرِجُوْا مَنْ عَرَفْتُمْ. فَتُحَـرَّمُ صُـوَرُهُمْ عَـلَى النَّارِ. فَيُخْرِجُوْنَ خَلْقًا كَثِيْرًا قَدْ أَخَذَتِ النَّاُر إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ وَإِلَى رُكْبَتَيْهِ. ثُمَّ يَقُوْلُوْنَ : رَبَّنَا! مَا بَقِيَ فِيْهَا أَحَدٌ مِمَّنْ أَمَرْتَنَا بِهِ. فَيَقُوْلُ : اِرْجِعُوْا! فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالَ دِيْنَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوْهُ! فَيُخْرِجُوْنَ خَلْقًا كَثِيْرًا. ثُمَّ يَقُوْلُوْنَ : رَبَّنَا! لَمْ نَذَرْ فِيْهَا أَحَدًا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا بِهِ. ثُمَّ يَقُوْلُ : اِرْجِعُوْا! فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالَ نِصْفِ دِيْنَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوْهُ! فَيُخْرِجُوْنَ خَلْقًا كَثِيْرًا. ثُمَّ يَقُوْلُوْنَ : رَبَّنَا! لَمْ نَذَرْ فِيْهَا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا أَحَدًا. ثُمَّ يَقُوْلُ : اِرْجِعُوْا! فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوْهُ! فَيُخْرِجُوْنَ خَلْقًا كَثِيْرًا. ثُمَّ يَقُوْلُوْنَ : رَبَّنَا!ْ لَمْ نَذَرْ فِيْهَا خَيْرًا.
وَكَانَ أَبُوْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ يَقُوْلُ: إِنْ لَمْ تُصَدِّقُوْنِي بِهَذَا الْحَدِيْثِ فَاقْرَأُوْا إِنْ شِئْتُمْ : (إَنَّ اللهَ لاَيَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِن تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِن لَّدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا) من سورة النساء : 40 – الحديث.- رواه البخاري ومسلم-.

“Demi Allah Yang jiwaku ada di tanganNya. Tidak ada seorangpun diantara kamu yang lebih bersemangat di dalam menyerukan permohonannya kepada Allah untuk mencari cahaya kebenaran, dibandingkan dengan kaum Mu’minin ketika memohonkan permohonannya kepada Allah pada hari Kiamat untuk (menolong) saudara-saudaranya sesama kaum Mu’minin yang berada di dalam Neraka. Mereka berkata : “Wahai Rabb kami, mereka dahulu berpuasa, shalat dan berhaji bersama-sama kami”.

Maka dikatakan (oleh Allah) kepada mereka : “Keluarkanlah oleh kalian (dari Neraka) orang-orang yang kalian tahu!” Maka bentuk-bentuk fisik merekapun diharamkan bagi Neraka (untuk membakarnya). Kemudian orang-orang Mu’min ini mengeluarkan sejumlah banyak orang yang dibakar oleh Neraka sampai pada pertengahan betis dan lututnya. Kemudian orang-orang Mu’min ini berkata: “Wahai Rabb kami, tidak ada lagi di Neraka seorangpun yang engkau perintahkan untuk mengeluarkannya”. Allah berfirman : “Kembalilah! Siapa saja yang kalian dapati di dalam hatinya terdapat kebaikan seberat satu dinar, maka keluarkanlah (dari Neraka)!” Maka merekapun mengeluarkan sejumlah banyak orang dari Neraka. Kemudian mereka berkata lagi : “Wahai Rabb kami, tidak ada lagi seorangpun yang kami sisakan dari orang yang Engkau perintahkan untuk kami mengeluarkannya”. Allah berfirman : “Kembalilah! Siapa saja yang kalian dapati di dalam hatinya terdapat kebaikan seberat setengah dinar, maka keluarkanlah (dari Neraka)”. Merekapun mengeluarkan sejumlah banyak orang. Selanjutnya mereka berkata lagi : “Wahai Rabb kami, tidak ada seorangpun yang Engkau perintahkan, kami sisakan (tertinggal di Neraka)”. Allah berfirman: “Kembalilah! Siapa saja yang kalian dapati di dalam hatinya terdapat kebaikan seberat biji dzarrah, maka keluarkanlah (dari Neraka)”. Maka merekapun mengeluarkan sejumlah banyak orang. Kemudian mereka berkata : “Wahai Rabb kami, tidak lagi kami menyisakan di dalamnya seorangpun yang mempunyai kebaikan”.

Pada waktu itu Abu Sa’id al Khudri mengatakan: “Apabila kalian tidak mempercayai hadits ini, maka jika kalian suka, bacalah firman Allah (yang artinya): “Sesungguhnya Allah tidak menzhalimi seseorang meskipun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisiNya pahala yang besar”. (an Nisaa’ : 40) … al Hadits”. [HR. Bukhari dan Muslim )Lihat Fathul Bari (XIII/421), hadits no. 7439, Kitab at Tauhid, Bab 24, dengan lafadz berbeda. Dan lihat Shahih Muslim Syarh Nawawi, tahqiq Khalil Ma’mun

Dan pada akhirnya,saya secara pribadi memohon doa dari pembaca agar bisa melewati ujian gay ini, menjadi muslim yang bertakwa. Saya berharap para pembaca yang mendapat ujian gay ini dapat melalui nya dengan benar dan masuk surga.amin.

Bahaya Kristenisasi di kalangan Gay,Homosexual dan lainya


nikmat yang paling besar dalam hidup kita adalah diberi Keimanan. 
dan jika kita keluar dari agama Islam.sungguh,kita akan termasuk orang orang yang merugi di dunia dan di akhirat

Bahaya Murtad seperti yang dijelaskan dalam Alquran,
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya kemudian mati dalam keadaan kafir maka mereka itulah orang-orang yang terhapus amalannya di dunia dan akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal berada di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah : 217)
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْرًا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلَا لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيلًا
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus". (An-Nisa : 137)

Fatwa MUI: Homoseksual Kelainan yang Harus Disembuhkan



muiPANDANGAN Islam terhadap homoseksualitas selain didasarkan atas penemuan ilmuwan tentang fenomena ini, juga harus didasarkan atas wahyu. Wahyu yang terkandung di dalam al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad saw adalah petunjuk yang tetap.
Demikian dikatakan Sekjen AILA, Rita Soebagio dalam diskusi “Holding Hands With LGBT: Bagaimana Muslim Bersikap Terhadap LGBT“,  Selasa (22/9) di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP UI.
Dalam QS. Al-A’raf: 80, Allah berfirman: “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun di dunia ini sebelummu?.”
Dari Jabir ra, dia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda:“Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah perbuatan kaum Luth” [HR Ibnu Majah). Dari Abu Musa, berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Apabila lelaki menggauli lelaki, maka keduanya berzina. Dan apabila wanita menggauli wanita, maka keduanya berzina. (HR. Al-Baihaqi).
Dari Watsilah ibn Al-Asqa’, berkata: “hubungan seksual wanita dengan sesama wanita itu zina”. (HR. Al-Baihaqi). Ijma’ Ulama bahwa liwath dan shiqoq serta  aktifitas seksual sesama jenis adalah haram.
Fatwa MUI soal LGBT
Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwanya terkait homoseksual. Berikit Fatwa MUI No 57 Tahun 2014: Hubungan seksual hanya dibolehkan bagi seseorang yang memiliki hubungan suami isteri, yaitu pasangan lelaki dan wanita berdasarkan nikah yang sah secara syar’i. Orientasi seksual terhadap sesama jenis adalah kelainan yang harus disembuhkan serta penyimpangan yang harus diluruskan.
Homoseksual, baik lesbian maupun gay hukumnya haram, dan merupakan bentuk kejahatan (jarimah). Pelaku homoseksual, baik lesbian maupu gay, termasuk biseksual dikenakan hukuman hadddan/atau ta’zir oleh pihak yang berwenang. Sodomi hukumnya haram dan merupakan perbuatan keji yang mendatangkan dosa besar (fahisyah).
Pelaku sodomi dikenakan hukuman ta’zir yang tingkat hukumannya maksimal hukuman mati. Aktifitas homoseksual selain dengan cara sodomi (liwath) hukumnya haram dan pelakunya dikenakan hukumanta’zir.
Aktifitas pencabulan, yakni pelampiasan nasfu seksual seperti meraba, meremas, dan aktifitas lainnya tanpa ikatan pernikahan yang sah, yang dilakukan oleh seseorang, baik dilakukan kepada lain jenis maupun sesama jenis, kepada dewasa maupun anak hukumnya haram. Pelaku pencabulan sebagaimana dimaksud pada angka 8 dikenakan hukumanta’zir.
Dalam hal korban dari kejahatan (jarimah) homoseksual, sodomi, dan pencabulan adalah anak-anak, pelakunya dikenakan pemberatan hukuman hingga hukuman mati.Melegalkan aktifitas seksual sesama jenis dan orientasi seksual menyimpang lainnya adalah haram.
Pandangan Barat terhadap LGBT
Seorang akhtifis hak gay, Scott Bidstrup dalam makalahnya yang berjudul The Natural ‘Crime Against Nature: A brief Survey of Homosexual Behaviour In Animals mengatakan bahwa masyarakat selalu mempunyai dua cara pandang dalam memandang homoseksual.
Pertama, Pandangan Konservatif yang mengganggap homoseksual sebagai sebuah penyimpangan, karenanya orientasi dan dan perilakunya bersifat penyakit dan patologis.
Kedua, Pandangan Progresif mengatakan bahwa homoseksual adalah varian normal dalam kehidupan manusia dan karenanya perilakunya bersifat natural.
Jack Drescher, psikiater anggota komisi seksual dan identitas gender DSM V membagi homoseksual berdasarkan  etiologinya kedalam tiga formulasi yaitu: varian normal, Patologis, ketidakmatangan perilaku.
Psikiater Jerman  Richard von Krafft-Ebing (1840-1902) mengemukakan teori patologi homoseksual sebagai “degenerative disorder”. Krafft-Ebing  memandang segala bentuk perilaku seksual diluar kebiasaan umum adalah bentuk psikopatologi yang disebut dengan Psychopathia Sexualis.
Krafft-Ebing percaya bahwa meskipun homoseksual berasal dari bawaan lahir, namun hal ini harus difahami sebagai bentuk cacat bawaan. Teori Krafft-Ebing memberikan pengaruh yang sangat besar bagi para peneliti medis dan ilmu pengetahuan selanjutnya dalam memandang homoseksual sebagai penyakit psikis. Psychopathia Sexualis dinilai memiliki pijakan saintifik yang kuat sehingga menandai lahirnya banyak asumsi patologis di dalam diagnosa homoseksual yang dikembangkan ilmuwan lainnya pada pertengahan abad ke-20.
Gerakan LGBT melakukan propaganda  “marriage for everyone” . Padahal pernikahan harus diatur bukan semata-mata bagi mereka yang saling mencintai, tapi dengan siapa  mereka menikah.Marriage is not only the recognition of a loving attachment.(Desastian/Islampos)

PERINGATAN KEPADA KAUM GAY, LESBIAN, (HOMOSEKSUAL)


PERINGATAN KEPADA KAUM GAY, LESBIAN, (HOMOSEKSUAL)


Oleh
Syaikh Nabil Muhammad Mahmud
DALIL DARI SUNNAH TENTANG HARAMNYA HOMOSEKSUAL
[a]. Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah kedua pelakunya” [HR Tirmidzi : 1456, Abu Dawud : 4462, Ibnu Majah : 2561 dan Ahmad : 2727]

[b]. Dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah perbuatan kaum Luth” [HR Ibnu Majah : 2563, 1457. Tirmidzi berkata : Hadits ini hasan Gharib, Hakim berkata, Hadits shahih isnad]

[c]. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Allah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth, (beliau mengulanginya sebanyak tiga kali)” [HR Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra IV/322 No. 7337]

[d]. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Allah tidak mau melihat kepada laki-laki yang menyetubuhi laki-laki atau menyetubuhi wanita pada duburnya” [HR Tirmidzi : 1166, Nasa’i : 1456 dan Ibnu Hibban : 1456 dalam Shahihnya. Keterangan : hadits ini mencakup pula wanita kepada wanita]

[e]. Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Itu adalah liwat kecil, yakni laki-laki yang menggauli istrinya di lubang duburnya” [HR Ahmad : 6667]

HUKUMAN TERHADAP KAUM HOMOSEKS
Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian mereka mengatakan hukumannya sebagaimana hukuman zina yaitu dirajam bagi yang muhshan (sudah pernah menikah) dan dicambuk dan diasingkan bagi yang belum menikah. Sebagian yang lain mengatakan, kedua-duanya dirajam dalam keadaan apapun, menerapkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, “Bunuhlah yang menyetubuhi dan yang disetubuhi”

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Para sahabat telah menerapkan hukum bunuh terhadap pelaku homoseks. Mereka hanya berselisih pendapat bagaimana cara membunuhnya”

HUKUMAN TERHADAP PELAKU HOMOSEKS SETELAH MUSNAHNYA KAUM LUTH
Para pengikut madzhab Hambali menukil ijma’ (kesepakatab) para sahabat yang mengatakan bahwa hukuman homoseks adalah dibunuh. Mereka berdalil dengan hadits: “Barangsiapa yang kalian dapatkan melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah yang menyetubuhi dan yang disetubuhi”.

Mereka juga berdalil dengan perbuatan Ali Radhiyallahu ‘anhu yang merajam orang yang melakukan homoseksual. Syafi’i berkata : “Dengan ini, kita berpendapat merajam orang yang melakukan perbuatan homoseksual, baik dia seorang muhsan atau bukan”.

Dan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Khalid bin Walid bahwa ada di pinggiran kota Arab seorang laki-laki yang dinikahi sebagaimana dinikahinya seorang perempuan. Maka dia menulis surat kepada Abu Bakar Shiddik Radhiyallahu ‘anhu. Abu Bakar lalu bermusyawarah dengan para sahabatnya. Orang yang paling keras pendapatnya adalah Ali Radhiyallahu ‘anhu. Dia berkata, “Tidaklah melakukan perbuatan ini kecuali hanya satu ummat dan kalian telah mengetahui apa yang telah Allah lakukan kepada mereka. Aku berpendapat agar dia dibakar dengan api”. Kemudian Abu Bakar mengirim surat kepada Khalid bin Walid untuk membakarnya.

Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Dipertontonkan dari bangunan yang paling tinggi lalu dilemparkan (ke bawah) diikuti lemparan batu”.

Dengan demikian hukuman homoseks adalah bisa dengan dibakar, dirajam dengan batu, dilempar dari bangunan yang paling tinggi yang diikuti lemparan batu, atau dipenggal lehernya. Ada pula yang mengatakan ditimpakan tembok kepadanya.

Imam Syaukani memilih hukuman bunuh dan melemahkan pendapat selain itu. Mereka berpendapat seperti itu menilik firman Allah.

“Artinya : Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim” [Hud : 82-83]

Dalam penerapan hukuman ini, pelaku homoseks dipersilakan memilih hukuman yang dia kehendaki dari hukuman-hukuman yang ada.

PERINGATAN KEPADA KAUM HOMOSEKS
[a]. Ketahuilah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelaku homoseks sebanyak tiga kali sedangkan pezina hanya sekali.

[b]. Takutlah engkau terjerumus dalam dosa ini karena akan merusakan dirimu dan dikhawatirkan akan menyeretmu kepada kekafiran seperti yang menimpa saudaramu sebelum kamu sebagaimana yang diberitakan oleh Ibnu Al-Qayyim dalam kitabnya Al-Jawab Al-Kafi halaman 191

Diceritakan ada seorang laki-laki yang jatuh hati kepada seorang pemuda tampan bernama Aslam. Cinta di hatinya begitu mendalam kepada Aslam. Akan tetapi, anak muda tersebut tidak mau dan menjauh darinya sehingga menyebabkan laki-laki itu terbaring sakit dan tidak dapat bangkit. Orang-orang yang kasihan melihat diri laki-laki itu mencoba mendatangkan anak muda itu, dan dibuatlah perjanjian supaya dia menengok laki-laki itu. Mendengar berita itu, laki-laki yang sedang kasmaran tersebut merasa sangat senang dan mendadak hilang kegelisahan dan kesedihannya. Manakala dia dalam kegembiraan menanti anak muda tersebut datanglah orang lain yang mengabarkan bahwa anak muda tadi sebenarnya sudah sampai di tengah jalan tetapi kembali, tidak meneruskan perjalanannya dan tidak mau memperlihatkan dirinya kepada laki-laki itu. Ketika mendengar berita tersebut, mendadak kambuh sakitnya hingga tampak darinya tanda-tanda sakaratul maut. Kemudan dia bersyair.

Wahai Aslam sang penyejuk hati
Wahai Aslam sang penyembuh sakit
Keridhaanmu lebih aku sukai pada diriku
Daripada rahmat Sang Pencipta
Yang Mahamulia

Dikatakan kepadanya, “Takulah kamu dengan kata-kata itu!” Laki-laki itu menjawab, “Itu kenyataannya”. Maka akhirnya matilah dia dalam keadaan kafir kepada Allah.

KEJELEKAN KAUM LUTH DAN PERLAWANAN MEREKA TERHADAP ALLAH
Cermatilah jeleknya kaum Luth dan penentangan mereka terhadap Allah ketika mereka mendatangi nabi Luth dan tamu-tamunya yang tampan. Ketika melihat mereka datang Nabi luth berkata.

“Artinya : Hai kamumku, inilah putri-putriku. Mereka lebih suci bagimu” [Hud : 78]

Dia merelakan putri-putrinya untuk mereka peristri sebagai ganti tamu-tamunya karena mengkhawatirkan dirinya dan tamunya dari aib yang sangat jelek sebagaimana yang dikisahkan dalam surat Hud ayat 78-80.

“Artinya : Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata, ‘Hai kaumku, inilah puteri-puteriku mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?’ Mereka menjawab : ‘Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu, dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki’. Luth berkata, ‘Seandainya aku mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan)’

DAMPAK NEGATIF HOMOSEKSUAL DITINJAU DARI SISI KESEHATAN
Islam sangat keras dalam meberikan hukuman atas kejahatan yang satu ini karena dampaknya yang buruk dan kerusakan yang ditimbulkannya kepada pribadi dan masyarakat.

Dampak negatif tersebut di antaranya.

a. Benci terhadap wanita
Kaum Luth berpaling dari wanita dan kadang bisa sampai tidak mampu untuk menggauli mereka. Oleh karena itu, hilanglah tujuan pernikahan untuk memperbanyak keturunan. Seandainya pun seorang homo itu bisa menikah, maka istrinya akan menjadi korbannya, tidak mendapatkan ketenangan, kasih sayang, dan balas kasih. Hidupnya tersiksa, bersuami tetapi seolah tidak bersuami.

b. Efek Terhadap Syaraf
Kebiasaan jelek ini mempengaruhi kejiwaan dan memberikan efek yang sangat kuat pada syaraf. Sebagai akibatnya dia merasa seolah dirinya diciptakan bukan sebagai laki-laki, yang pada akhirnya perasaan itu membawanya kepada penyelewengan. Dia merasa cenderung dengan orang yang sejenis dengannya.

c. Efek terhadap otak

d. Menyebabkan pelakunya menjadi pemurung

e. Seorang homoseks selalu merasa tidak puas dengan pelampiasan hawa nafsunya.

f. Hubungan homoseksual dengan kejelekan akhlaq
Kita dapatkan mereka jelek perangai dan tabiatnya. Mereka hampir tidak bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang mulia dan yang hina.

g. Melemahkan organ tubuh yang kuat dan bisa menghancurkannya. Karena organ-organ tubuhnya telah rusak, maka didapati mereka sering tidak sadar setelah mengeluarkan air seni dan mengeluarkan kotoran dari duburnya tanpa terasa.

h. Hubungan homoseksual dengan kesehatan umum.
Mereka terancam oleh berbagai macam penyakit. Hal ini disebabkan karena merasa lemah mental dan depresi.

I. Pengaruh terhadap organ peranakan.
Homoseksual dapat melemahkan sumber-sumber utama pengeluaran mani dan membunuh sperma sehingga akan menyebabkan kemandulan

j. Dapat meyebabkan penyakit thypus dan disentri

k. Spilis, penyakit ini tidak muncul kecuali karena penyimpangan hubungan sek

l. Kencing nanah

m. AIDS, para ahli mengatakan bahwa 95% pengidap penyakit ini adalah kaum homoseks

BISAKAH KAUM HOMOSEKS BERTAUBAT DAN MASUK SURGA?
Ibnul Al-Qayyim berkata : “Jika pelaku homoseks bertaubat dengan sebenar-benarnya (taubat nasuha) dan beramal shaleh kemudian mengganti kejelekan-kejelekannya dengan kebaikan, membersihkan berbagai dosanya dengan berbagai kataatan dan taqarrub kepada Allah, menjaga pandangan dan kemaluannya dari hal-hal yang haram, dan tulus dalam amal ibadahnya, maka dosanya diampuni dan termasuk ahli surga. Karena Allah mengampuni semua dosa. Apabila taubat saja bisa menghapus dosa syirik, kufur, membunuh para nabi, sihir, maka taubat pelaku homoseks juga bisa menghapuskan dosa-dosa mereka.

PENANGGULANGAN HOMOSEKS DAN PENYEMBUHANNYA
a. Menanamkan akidah shahihah pada semua anggota masyarakat karena ia merupakan benteng yang aman dan pelindung dari ketergelinciran dan penyelewengan.

b. Memperbanyak halaqah (majlis pengajian) menghafal Al-Qur’an khususnya pada anak-anak dan remaja

c. Memperhatikan pendidikan anak-ank muda dan mengisi waktu kosong mereka dengan hal-hal yang bermanfaat bagi mereka dan tanah air mereka.

d. Menjadikan penjara sebagai madrasah untuk pendidikan, perbaikan narapidana, serta meluruskan akhlaq mereka dengan pendidikan Islam yang benar

e. Mengkhususkan khutbah (ceramah) untuk para pemuda yang memperingatkan mereka dari bahaya dan dampak buruk homoseksual

f. Menasehati para pemuda di kompleks-kompleks terdekat dan memberikan buku-buku bacaan Islam yang bisa menguatkan hubungan mereka denan Allah

g. Menghilangkan sarana berkumpulnya para pemuda tempat mereka melakukan kemasiatan

Kita berdo’a semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kekuatan kepada kita dan anak keturunan kita agar tidak terjrumus dalam gelimang dosa yang penuh kekejian ini dan memberikan hidayah kepada mereka yang telah terlanjur untuk kembali kepada keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari Lumpur dosa ini.

Allah Al-Musta’an. Wallahu a’lam

[Disalin dari Majalah Fatawa Vol. 11/Th.1/1424H-2003M. Disarikan dan dialaihbahasakan oleh Yusuf Purwanto dan Abdullah. Alamat Redaksi Islamic Center Bin Baz, Karanggayam, Sitimulyo, Piyungan-Bantul, Yogyakarta]


Sumber:

Kalau Dosa, Akui Saja itu dosa. Jangan Menghalalkan kesalahan begitu juga sebaliknya



“Hati-hati, jangan menghalalkan apa yang diharamkan Allah,” kata seorang ustadz kepada saya. Maka saya jawab, “Begitu pula sebaliknya, hati-hati, jangan sampai mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah.” Demikianlah kira-kira cuplikan sebagian dialog yang sempat terjadi antara saya dengan seorang ustadz yang mulia ketika berdiskusi mengenai suatu masalah yang berujung pada ketidaksepakatan dan perbedaan pendapat.
Terkadang kita jumpai sebagian orang yang terlalu bermudah-mudah dalam melarang dan mengharamkan sesuatu. Demikian pula sebaliknya, juga kita jumpai sebagian lain hidup dalam permissivisme (ibāhiyyah) yang membolehkan dan menghalalkan segala sesuatu. Celakanya adalah apabila masing-masing dari kedua golongan tersebut memutuskan tanpa ilmu.
Menghalalkan yang haram merupakan tindak kelancangan terhadap hukum Allah, sebagaimana halnya mengharamkan yang halal pun demikian. Allah berfirman:
قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ اللّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَاماً وَحَلاَلاً قُلْ آللّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللّهِ تَفْتَرُونَ، وَمَا ظَنُّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَ يَشْكُرُونَ
“Katakanlah: ‘Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.’ Katakanlah: ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan (kedustaan) terhadap Allah?’ Apakah dugaan orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah pada hari kiamat? Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak bersyukur.” (QS. Yūnus [10]: 59-60)
وَلاَ تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَـذَا حَلاَلٌ وَهَـذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُواْ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung.” (QS. An-Nahl [16]: 116)
Pada umumnya, perbuatan menghalalkan yang haram lahir dari mereka yang cenderung selalu mengikuti nafsu syahwatnya, sedangkan tindakan mengharamkan yang halal muncul dari orang-orang yang tampak keshalihan pada mereka namun mereka bersikap kaku karena kecemburuan (ghīrah) mereka yang sangat terhadap agama.
Kedua sikap tersebut tentu bukan merupakan sikap yang benar. Bahkan keduanya termasuk dalam hal menuruti hawa nafsu. Hanya saja, yang pertama terkait dengan nafsu syahwat, sedangkan yang kedua terkait dengan nafsu berlebih-lebihan dalam agama. Yang benar adalah sikap pertengahan, yakni menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram serta melapangkan apa yang telah Allah lapangkan bagi manusia. Namun sayangnya, sungguh sedikit orang yang bersikap demikian.
Meskipun mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram adalah sama dari sisi kelancangan terhadap hukum Allah, namun mengharamkan yang halal lebih parah dan lebih berat hukumnya, karena hal itu menyempitkan dan memberatkan kehidupan manusia, serta bertentangan dengan prinsip umum syariah yang memberi kemudahan dan menghilangkan kesulitan (haraj). Allah berfirman:
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
َ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
“Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia ingin membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Mā’idah [5]: 6)
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
ِ
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj [22]: 78)
“Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan rizki yang baik?!’” (QS. Al-A`rāf [7]: 32)
Dari Sa`d Ibn Abī Waqqāsh dengan sanad yang valid, Nabi—shallaLlāhu `alaihi wa sallam—bersabda,
إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِيْن جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْألتِهِ
“Sesungguhnya yang paling besar dosa dan kejahatannya dari kaum muslimin adalah orang yang bertanya tentang hal yang tidak diharamkan, lantas hal tersebut menjadi diharamkan karena pertanyaannya tadi.” (Riwayat al-Bukhāri: VI/2658/6859.)
Dan dalam riwayat lain disebutkan,
إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِيْن فِي الْمُسْلِمِيْن جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ أَمْرٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ عَلَى النَّاسِ مِنْ أَجْلِ مَسْألتِهِ
“Sesungguhnya kaum muslimin yang paling besar dosa dan kejahatannya terhadap (sesama) kaum muslimin adalah yang bertanya tentang perkara yang tidak diharamkan, lantas hal tersebut menjadi diharamkan kepada manusia karena pertanyaannya tadi.” (Riwayat Muslim: IV/1831/2358; Ahmad: I/179/1545; Abū Dāwūd: II/612/4610; dan lain-lain.)
Di samping itu, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ibn ‘Utsaimīn, mengharamkan yang halal berseberangan dengan kaidah yang berbunyi:
الأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءُ الحِلّ
“Hukum asal segala sesuatu adalah halal (sampai ada dalil yang mengharamkannya).”
Syaikh Ibn ‘Utsaimīn—rahimahuLlāh—berkata, “Mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah tidak kurang derajatnya dalam dosa dibandingkan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Engkau dapati banyak dari orang-orang yang memiliki kecemburuan terhadap agama (ghīrah) lebih cenderung kepada tindakan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dibandingkan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Sebaliknya dengan mereka menyepelekan ajaran agama (mutahāwinūn). Kedua golongan tersebut salah. Meski demikian, menghalalkan yang haram terhadap apa-apa yang hukum asalnya halal adalah lebih ringan statusnya dibandingkan mengharamkan yang halal. Sebab, menghalalkan yang haram, apabila belum tampak jelas sisi pengharamannya, dibangun di atas hukum asal, yaitu kehalalan, di samping bahwa rahmat Allah—subhānahu—mendahului murka-Nya. Karena itu, tidak memungkinkan bagi untuk kita mengharamkan kecuali apa yang telah jelas pengharamannya. Sebab, pengharaman itu lebih menyempitkan dan memberatkan (dibanding penghalalan). Dan, pada asalnya, seluruh perkara itu tetap berada di atas kehalalan dan kelapangan sampai jelas datangnya pengharaman.
Adapun dalam urusan-urusan ibadah, maka diperkeras (berkebalikan dengan penjelasan sebelumnya). Sebab, hukum asal ibadah adalah terlarang dan diharamkan sampai dijelaskan oleh syariah. Hal ini sebagaimana disebutkan,
وَالْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ حِلٌّ وَامْنَعِ
عِبَــادَةً إِلاَّ بِإِذْنِ الشَّــــــارِعِ
Hukum asal dalam segala sesuatu adalah halal
dan cegahlah suatu ibadah kecuali dengan izin Pembuat Syariah
Demikianlah perkataan al-‘Allāmah Ibn `Utsaimīn. (Lihat: al-Qaulu’l Mufīd ‘alā Kitābi’t Tauhīd, bab Man Athā`a’l `Ulamā’ wa’l Umarā’ fī Tahrīm Ma Ahalla’Llāhu au Tahlīl Ma Harramahu fa Qad Ittakhadzahum Arbāba, vol. II, hal. 311. Lihat pula: al-Qawā`id al-Fiqhiyyah, karya Syaikh Ibn `Utsaimīn)
Sebenarnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kaidah: ‘Hukum asal segala sesuatu adalah halal’, setidaknya terdapat empat pendapat:
Pendapat pertama: Hukum asal segala sesuatu adalah terlarang atau haram. Ada yang menisbatkan pendapat ini kepada jumhūr (mayoritas ulama). Penulis al-Asybāh wa’n Nazhā’ir menisbatkan pendapat ini kepada Imam Abū Hanīfah. Ia berkata, “Menurut Abū Hanīfah, hukum asal dari segala sesuatu adalah haram, sampai ada dalil yang menunjukkan kehalalannya.” Namun, jika yang dimaksud dengan ‘segala sesuatu’ itu bersifat umum dan universal maka pendapat ini sangat lemah (marjūh) dan berseberangan dengan dalil dan argumen yang telah kami sebutkan sebelumnya.
Pendapat kedua: Hukum asal segala sesuatu adalah dibolehkan sampai ada dalil yang mengharamkannya. Ini adalah pendapat asy-Syāfi’iyyah dan Muhammad Ibn ‘Abdi’Llāh Ibn al-Hakam. Sebagian ulama kontemporer menisbatkan pendapat ini kepada jumhūr (mayoritas ulama).
Pendapat ketiga: Hukum asal segala sesuatu adalah tawaqquf (abstain), tidak dapat dikatakan halal maupun haram. Ini adalah pendapat al-Asy’ari, Abū Bakr ash-Shairafi dan sebagian asy-Syāfi’iyyah.
Pendapat keempat: Dirinci antara mudharat dan manfa’at; yakni hukum asal dalam hal-hal yang bermanfaat adalah halal, sedangkan hukum asal dalam hal-hal yang menimbulkan mudharat adalah haram. Ini adalah pendapat al-Fakhr ar-Rāzi, sekaligus menjadi pendapat yang dipilih oleh banyak ulama, seperti al-Qādhī al-Baidhāwi. Inilah pendapat yang paling tepat—in syā-aLlāh. Ibn as-Subki dan al-Jalāl al-Mahalli telah menegaskan bahwa perincian ini adalah benar. Pendapat ini juga dipegang oleh al-QarāfiWaLlāhu a’lam bish shawāb.
(Lihat: Mazhāhir at-Taisīr fi at-Tasyrī` al-Islāmi, hal. 34-35)
Penting untuk dipahami, bahwa pendapat ulama yang merupakan hasil ijtihād tidak dapat dikatakan bahwa pendapat tersebut mengharamkan apa yang Allah halalkan atau menghalalkan apa yang Allah haramkan. Bahkan, pemilik pendapat tersebut akan mendapatkan ganjaran berdasarkan benar atau salahnya pendapat itu, sebagaimana disebutkan dalam hadits muttafaq ‘alaih: “Jika seorang hakim ber-ijtihād lalu dia benar, maka dia mendapatkan dua pahala, dan jika dia salah, maka mendapatkan satu pahala.” Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Husain al-‘Awāyisyah dalam Kaifa Tuhakkim Nafsaka….
Demikian, semoga ada manfaatnya. Semoga kita menjadi orang yang berhati-hati dalam menghukumi sesuatu.WaLlāhu a’lam bish shawāb.

Hukum Rajam Bagi Pezina

HUKUM RAJAM BAGI PEZINA


Pertanyaan
Seorang gadis –yang karena kekhilafannya- berzina dengan seorang laki-laki. Tetapi kemudian menyatakan sungguh-sungguh bertaubat dan memahami konsekwensi hukum dari perzinahan, yaitu dirajam. Sementara itu, dua tahun kemudian ada seorang laki-laki lain yang ingin menikahinya. Yang menjadi pertanyaan :
1. Apa yang dimaksud dengan hukum rajam bagi pezina?
2. Siapakah yang berhak melakukan hukum rajam?
3. Bila sudah bertaubat dengan sebenar-benarnya, haruskah tetap menjalani hukum rajam?
4. Jika melangsungkan pernikahan dengan laki-laki lain, haruskah menceritakan tentang masa lalunya kepada calon suaminya?
5. Apakah gadis ini, masih dibolehkan berdakwah?
6. Bagaimana jika masyarakat mengetahui perihal masa lalunya yang telah ditutupinya itu?
7. Amalan apakah yang bisa menghapuskan dosa masa lalu (seperti zina ini)?
Yang masih menjadi kebingungan, apakah gadis itu tetap melangsungkan pernikahan dengan calon suaminya, atau bagaimana?

Jawaban
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan Saudari, perlu kami tegaskan, hendaklah setiap muslimah selalu menjaga kehormatannya. Memperhatikan batasan pergaulan yang telah ditetapkan syariat, baik di dalam maupun di luar rumah. Jangan sampai terlalu percaya diri, lalu bergaul bebas dan bercampur baur dengan lawan jenisnya, baik ikhtilat atau ber-khalwat. Karena hal ini merupakan jalan-jalan menuju perzinahan. Allah telah melarang hal tersebut dalam firmanNya,

وَلاَتَقْرَبُوا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلاً

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. [Al Isra’:32].

Larangan ini seharusnya membuat kita selalu berhati-hati terhadap perzinaan dan hal-hal yang mengantar kepadanya. Sehingga kita terhindar dari perkara yang menimpa saudari kita tersebut.

Sedangkan kepada gadis tersebut, hendaklah ia tetap melanjutkan pernikahan yang telah direncanakannya, dan jangan menceritakan keburukan masa lalunya kepada suami (calon suami) atau orang lain. Adapun perincian jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat Saudari ikuti penjelasan di bawah ini.

Pertama . Maksud Hukum Rajam Dan Cambuk Bagi Pezina.
Zina merupakan dosa besar. Barangsiapa berbuat zina, maka hukumannya menurut agama Islam ialah sebagai berikut:

1. Jika pelakunya muhshan (pernah berjima’ dengan nikah yang sah), mukallaf (sudah baligh dan berakal), suka rela (tidak dipaksa, tidak diperkosa), maka dia dicambuk 100 kali, kemudian dirajam, berdasarkan keumuman ayat 2 surat An Nur, dan perbuatan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu. Atau cukup dirajam, tanpa didera, dan ini lebih baik, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu 'anhu dan Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu 'anhu.

2. Jika pelakunya belum menikah, maka dia didera (dicambuk) 100 kali. Kemudian diasingkan selama setahun. [1]

Dirajam yaitu dilempari batu sampai mati. Caranya, orangnya ditanam berdiri di dalam tanah sampai dadanya, lalu dilempari batu sampai mati.

Berikut ini diantara dalil tentang hukum dera (cambuk) dan rajam ini:

Allah Subhanahu wa Ta'alal berfirman

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مَائَةَ جَلْدَةٍ وَلاَتَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. [An Nur : 2]

Hal ini juga disebutkan dalam banyak hadits. Antara lain :

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

خُذُوا عَنِّي خُذُوا عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ

Ambillah dariku, ambillah dariku. Sesungguhnya Allah telah memberi jalan yang lain kepada mereka, [2] yaitu orang yang belum menikah (berzina) dengan orang yang belum menikah, (hukumnya) dera 100 kali dan diasingkan setahun. Adapun orang yang sudah menikah (berzina) dengan orang yang sudah menikah (hukumnya) dera 100 kali dan rajam. [3]

Juga hadits di bawah ini:

عَنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ يَقُولُ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهُوَ جَالِسٌ عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَقِّ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ فَكَانَ مِمَّا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ قَرَأْنَاهَا وَوَعَيْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا فَرَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ فَأَخْشَى إِنْ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ مَا نَجِدُ الرَّجْمَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ أَنْزَلَهَا اللَّهُ وَإِنَّ الرَّجْمَ فِي كِتَابِ اللَّهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى إِذَا أَحْصَنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَلُ أَوِ الِاعْتِرَافُ

Dari Abdullah bin ‘Abbas, dia berkata, Umar bin Al Khaththab berkata, -sedangkan beliau duduk di atas mimbar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam-, “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa al haq, dan menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepadanya. Kemudian diantara yang diturunkan kepada beliau adalah ayat rajam. Kita telah membacanya, menghafalnya, dan memahaminya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melaksanakan (hukum) rajam, kitapun telah melaksanakan (hukum) rajam setelah beliau (wafat). Aku khawatir jika zaman telah berlalu lama terhadap manusia, akan ada seseorang yang berkata, ‘Kita tidak dapati (hukum) rajam di dalam kitab Allah’, sehingga mereka akan sesat dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Sesungguhnya (hukum) rajam benar-benar ada di dalam kitab Allah terhadap orang yang berzina, padahal dia telah menikah, dari kalangan laki-laki dan wanita, jika bukti telah tegak (nyata dengan empat saksi, red.), atau terbukti hamil, atau pengakuan.” [4]

Imam Asy Syaukani rahimahullah berkata dalam kitab Duraril Bahiyyah,“Dan digalikan (liang) untuk orang yang dirajam sampai dada.”

Kemudian Imam Shiddiq Hasan Khan rahimahullah mengomentari perkataan di atas,“Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan membuat lubang untuk seorang wanita suku Ghomidi yang (dirajam) sampai dadanya. Hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim. Dan lainnya : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membuat lubang untuk Ma’iz, kemudian beliau memerintahkan sehingga dia dirajam, sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Buraidah dalam kisah Ma’iz.” [5]

Kedua : Yang Melaksanakan Rajam.
Adapun yang berhak melaksanakan hukum di atas (cambuk dan rajam bagi pezina) ialah penguasa kaum muslimin, penguasa yang mampu menegakkan syari’at Allah. Karena hukum tersebut termasuk hudud [6], yang merupakan kewajiban penguasa. Jadi bukan hak sembarang orang.

Syeikh Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhawayyan rahimahullah berkata,“Tidak (berhak) menegakkan had, kecuali imam (penguasa kaum muslimin) atau wakilnya; sama saja, apakah had itu karena hak Allah, seperti had zina. Atau karena hak manusia, seperti had tuduhan. Karena hal itu membutuhkan ijtihad dan tidak aman dari penyimpangan, maka wajib diserahkan kepadanya. Pada masa hidup Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm, beliaulah yang menegakkan hudud. Demikian juga para khalifah setelahnya. Dan wakil imam (haknya) seperti imam, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,’… Hai Unais, pergilah kepada wanita itu. Jika dia mengaku (berzina), rajamlah!’. Kemudian wanita itu mengaku (berzina), maka dia merajamnya. Beliau juga memerintahkan merajam Ma’iz, tetapi beliau tidak menghadirinya.” [7].

Menegakkan hudud merupakan hak imam. Ini merupakan ijma’ para ulama kaum muslimin. Akan tetapi terdapat pengecualian, yaitu bagi seorang tuan yang menegakkan had terhadap budaknya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا زَنَتِ الْأَمَةُ فَتَبَيَّنَ زِنَاهَا فَلْيَجْلِدْهَا وَلَا يُثَرِّبْ ثُمَّ إِنْ زَنَتْ فَلْيَجْلِدْهَا وَلَا يُثَرِّبْ ثُمَّ إِنْ زَنَتِ الثَّالِثَةَ فَلْيَبِعْهَا وَلَوْ بِحَبْلٍ مِنْ شَعَرٍ

Jika seorang budak wanita telah berzina, dan telah nyata zinanya, maka hendaknya (tuannya) mendera (mencambuknya), dan janganlah dia menjelak-jelekannya. Jika dia berzina lagi, maka hendaknya (tuannya) menderanya, dan janganlah dia menjelak-jelekannya. Jika dia berzina yang ketiga kali, hendaklah (tuannya) menjualnya, walaupun dengan seutas tali terbuat dari rambut. [8]

Namun bagaimanakah jika penguasa tidak menegakkan hudud?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimauhllah menyatakan,“Perkataan orang yang berkata,’Tidak berhak menegakkan hudud kecuali sulthan (penguasa) dan wakil-wakilnya’, adalah jika mereka berkuasa, melaksanakan keadilan… Demikian juga jika amir (penguasa) menyia-nyiakan hudud, atau tidak mampu menegakkannya. Maka tidak wajib menyerahkan hudud kepadanya, jika memungkinkan menegakkannya tanpa penguasa.

Yang pokok, sesungguhnya kewajiban-kewajiban ini ditegakkan sebaik-baiknya. Jika memungkinkan ditegakkan oleh satu amir (penguasa), maka tidak membutuhkan kepada dua amir. Dan apabila tidak dapat ditegakkan, kecuali dengan banyak orang dan dengan tanpa sulthan (penguasa), maka hal itu (dapat) ditegakkan, jika menegakkannya itu tidak menimbulkan kerusakkan yang lebih besar daripada tidak menegakkannya. Karena hal itu termasuk amar ma’ruf nahi mungkar. Maka, jika menegakkannya itu menimbulkan kerusakan yang lebih besar pada penguasa maupun rakyat daripada tidak ditegakkan, maka kerusakan itu tidak dilawan dengan kerusakan yang lebih besar.” [9]

Dari perkataan Syaikhul Islam tersebut, beliau membolehkan ditegakkannya hudud oleh selain penguasa dengan tiga syarat. Pertama, penguasa tidak melaksanakan, atau tidak mampu. Kedua, orang yang menegakkannya mampu melakukan. Jika cukup satu orang, maka tidak membutuhkan dua orang. Jika membutuhkan lebih, maka ditegakkan oleh secara bersama. Ketiga, dalam menegakkan hudud, tidak boleh menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada tidak ditegakkannya.

Perkataan Syaikhul Islam ini dapat difahami sebagai berikut:
1. Hal itu jika dalam keadaan imam atau amir itu banyak. Maka, setiap imam (amir) itu wajib menegakkan hudud atas para pengikutnya (rakyatnya), tanpa melihat siapa yang paling berkuasa. Inilah yang dapat diterima, insya Allah.

2. Bahwa setiap orang berhak menegakkan hudud dan melakukan qishash.
Tetapi, kemungkinan ini tidak dapat diterima. Karena bertentangan dengan ijma’ ulama, bahwa hudud diserahkan kepada penguasa. Dan hal itu akan menimbulkan kekacauan serta kerusakan yang lebih besar. Sehingga syarat ketiga sebagaimana tersebut di atas tidak terpenuhi.

Oleh karena itu, mengomentari perkataan yang diriwayatkan Al Qaffal yang berbunyi: Tiap-tiap orang boleh melakukan hudud, maka Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,“Ini tidak ada apa-apanya.” [10]

Ketiga :Bila sudah bertaubat dari zina, apakah tetap harus dirajam?
Jika seseorang sudah bertaubat dari zina (atau pencurian, minum khamr, dan lainnya), dan urusannya belum sampai kepada penguasa Islam yang menegakkan syari’at, maka had zina (cambuk atau rajam) gugur dari orang yang bertaubat tersebut. Hal ini dengan dalil-dalil sebagai berikut:

Firman Allah.

وَالَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنكُمْ فَئَاذُوهُمَا فَإِن تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَآ إِنَّ اللهَ كَانَ تَوَّابًا رَّحِيمًا

Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji diantara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya. Kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. [An Nisa’:16].

فَمَن تَابَ مِن بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ

Maka barangsiapa bertaubat (diantara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al Maidah:39]

Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ

Orang yang bertaubat dari semua dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa. [11]

Hadits dari Nu’aim bin Hazzal,

كَانَ مَاعِزُ بْنُ مَالِكٍ يَتِيمًا فِي حِجْرِ أَبِي فَأَصَابَ جَارِيَةً مِنَ الْحَيِّ فَقَالَ لَهُ أَبِي ائْتِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبِرْهُ بِمَا صَنَعْتَ لَعَلَّهُ يَسْتَغْفِرُ لَكَ وَإِنَّمَا يُرِيدُ بِذَلِكَ رَجَاءَ أَنْ يَكُونَ لَهُ مَخْرَجًا فَأَتَاهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي زَنَيْتُ فَأَقِمْ عَلَيَّ كِتَابَ اللَّهِ فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَعَادَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي زَنَيْتُ فَأَقِمْ عَلَيَّ كِتَابَ اللَّهِ فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَعَادَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي زَنَيْتُ فَأَقِمْ عَلَيَّ كِتَابَ اللَّهِ حَتَّى قَالَهَا أَرْبَعَ مِرَارٍ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ قَدْ قُلْتَهَا أَرْبَعَ مَرَّاتٍ فَبِمَنْ قَالَ بِفُلَانَةٍ فَقَالَ هَلْ ضَاجَعْتَهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ هَلْ بَاشَرْتَهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ هَلْ جَامَعْتَهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَمَرَ بِهِ أَنْ يُرْجَمَ فَأُخْرِجَ بِهِ إِلَى الْحَرَّةِ فَلَمَّا رُجِمَ فَوَجَدَ مَسَّ الْحِجَارَةِ جَزِعَ فَخَرَجَ يَشْتَدُّ فَلَقِيَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُنَيْسٍ وَقَدْ عَجَزَ أَصْحَابُهُ فَنَزَعَ لَهُ بِوَظِيفِ بَعِيرٍ فَرَمَاهُ بِهِ فَقَتَلَهُ ثُمَّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ هَلَّا تَرَكْتُمُوهُ لَعَلَّهُ أَنْ يَتُوبَ فَيَتُوبَ اللَّهُ عَلَيْهِ

Dahulu Ma’iz bin Malik adalah seorang yatim di bawah asuhan bapakku. Lalu dia menzinahi seorang budak dari suku itu. Maka, bapakku berkata kepadanya,“Pergilah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beritahukan kepada beliau apa yang telah engkau lakukan. Semoga beliau memohonkan ampun untukmu.” Bapakku menghendaki hal itu karena berharap agar Ma’iz memperoleh solusi. Maka Ma’iz mendatangi beliau dan berkata,“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina. Maka tegakkanlah kitab Allah atasku.” Lalu beliau berpaling darinya. Kemudian Ma’iz mengulangi dan berkata,“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina. Maka, tegakkanlah kitab Allah atasku.” Maka beliau berpaling darinya. Kemudian Ma’iz mengulangi dan berkata,“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina. Maka tegakkanlah kitab Allah atasku.” Sampai dia mengulanginya empat kali. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,“Engkau telah mengatakannya empat kali. Lalu, dengan siapa?” Dia menjawab,“Dengan Si Fulanah.” Lalu beliau bersabda,“Apakah engkau berbaring dengannya?” Dia menjawab,“Ya.” Lalu beliau bersabda,“Apakah engkau menyentuh kulitnya?” Dia menjawab, “Ya.” Lalu beliau bersabda,“Apakah engkau bersetubuh dengannya?” Dia menjawab,“Ya.”
Maka beliau memerintahkan untuk merajamnya. Kemudian dia dibawa keluar ke Harrah. [12] Tatkala dia dirajam, lalu merasakan lemparan batu. Dia berkeluh-kesah, lalu dia keluar dan berlari. Maka Abdullah bin Unais menyusulnya. Sedangkan sahabat-sahabatnya yang lain telah lelah. Kemudian Abdullah mengambil tulang betis onta, lalu melemparkannya, sehingga dia membunuhnya. Lalu dia mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menceritakannya kepada beliau. Maka beliau bersabda,“Tidakkah kamu membiarkannya, kemungkinan dia bertaubat, lalu Allah menerima taubatnya!?” [13]

Dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Tidakkah kamu membiarkannya, kemungkinan dia bertaubat, lalu Allah menerima taubatnya?”, menunjukkan gugurnya had dari orang yang bertaubat.

Adapun jika seseorang telah bertaubat, lalu mendatangi penguasa Islam yang menegakkan had dan mengaku berbuat zina, serta memilih ditegakkan had padanya, maka had boleh ditegakkan (walaupun tidak wajib). Jika tidak, maka tidak ditegakkan. [14]

Keempat. : Wajibkah menceritakan tentang masa lalu kepada suami?
Tidak wajib. Bahkan jangan diceritakan keburukan masa lalu tersebut. Karena hal itu sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

Seluruh umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang melakukan dosa secara terang-terangan. Dan sesungguhnya termasuk (hukum) melakukan dosa secara terang-terangan, yaitu seseoran yang melakukan perbuatan (dosa) pada waktu malam, dan Allah telah menutupinya, kemudian pada waktu pagi dia mengatakan,“Hai Fulan, tadi malam aku telah melakukan ini dan itu,” padahal Rabb-nya telah menutupinya pada waktu malam, tetapi pada waktu pagi dia membuka tabir Allah terhadapnya. [15]

Kelima : Berdakwah setelah berzina.
Tidak mengapa. Karena setelah bertaubat, maka seseorang itu seperti tidak memiliki dosa. Dan untuk berdakwah tidak disyaratkan bersih dari dosa.

Keenam : Bagaimana jika mereka mengetahui masa lalu tersebut?
Hendaklah bersabar, karena itu termasuk musibah.

Ketujuh : Amalan yang dapat menghapus dosa zina tanpa rajam.
Taubat, sebagaimana kami jelaskan di atas.

Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VI/1423H/2003M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Lihat kitab At Ta’liqat Ar Radhiyyah ‘Ala Ar Raudhah An Nadiyyah, 3/270, karya Syaikh Al Albani, tahqiq: Syaikh Ali bin Hasan. Juga kitab Al Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, 2/431-433.
[2]. Isyarat terhadap firman Allah surat An Nisa’ ayat 15, yaitu : Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepada mereka
[3]. HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari ‘Ubadah bin Ash Shamit
[4]. HR Bukhari, Muslim, dan lainnya
[5]. Lihat kitab At Ta’liqat Ar Radhiyyah ‘Ala Ar Raudhah An Nadiyyah, 3/278
[6]. Hudud, jama’ dari had. Yaitu : hukuman-hukuman yang telah ditetapkan syari’at dalam perkara kemaksiatan-kemaksiatan, untuk mencegah terulangnya kemaksitan-kemaksiatan tersebut. Seperti had zina, mabok, tuduhan, pencurian, dan lainnya
[7]. Manarus Sabil Fi Syarhid Dalil 2/324-325, Jum’iyyah Ihyaut Turats Al Islami.
[8]. HR Bukhari no. 6839; Muslim no. 1703; dari Abu Hurairah
[9]. Majmu’ Fatawa 34/176.
[10]. Lihat Taisirul Fiqh Al Jami’ Lil Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, Juz 3, hal. 1431-1441, karya Dr. Ahmad Muwafi
[11]. HR Ibnu Majah no. 4250; dan lainnya, dari Abdullah bin Mas’ud
[12]. Nama tempat di luar kota Madinah.
[13]. HR Muslim, dan lainnya.
[14]. Lihat Majmu’ Fatawa 16/31
[15]. HR Bukhari dan Muslim